Wednesday, June 3, 2009

nyonya dari desa tetangga

Senyum ramah seperti tak pernah lepas dari wajahnya. Saya mengenalnya karena suaminya dulu pernah bekerja pada nenek membersihkan kebun dan merawat tanaman-tanaman nenek yang banyak itu. Sesekali ia datang saat nenek sedang perlu bantuan di dapur atau butuh tenaga tambahan untuk bersih2 rumah. Sekarang si suami sudah jarang beredar, sedang sibuk mengkaderkan diri di salah satu parpol berlambang matahari.

Iseng, sore itu saya mengajaknya ngobrol. Ingin tahu seperti apa hidup perempuan bersahaja ini. "eh yuk, pernah sedih ngga sih?" tanya saya penasaran melihat wajahnya yang slalu smiling all the time. jujur, saya sendiri merasa konyol dengan pertanyaan ini, buktinya dia menjawab sambil cengengesan.

"ah, mba. ya pernah dong.. saya mah suka sedih"
saya tersenyum, sedih kok bangga?
namun saya paham. maksudnya bukan suka sedih, tapi sering, banyak hal-hal yang kalau ia mau bisa ia jadikan bahan ratapan setiap saat.

Bukan, bukan sebuah pertanyaan naif yang saya lontarkan padanya.
Sambil tangannya terus mencari urat kaki yang mrengkel, yu kosim, bibi pijat ini bercerita tentang hidupnya.

Meski sudah sering bertemu, baru kali ini ia curhat pada saya. Anaknya 4 orang, yang pertama masih menganggur, yang kedua dan ketiga sudah bekerja. sementara si bungsu yang paling cantik, satu-satunya perempuan, masih bersekolah di SMK. "Biar cepet dapat kerja," ujar si iyuk.

Si sulung, usianya hanya terpaut 4 tahun dari saya. Harapan kedua orang tuanya pupus dilibas mobil sedan seorang mahasiswi kaya. Sebuah kecelakaan merenggut kaki kanan sang putra tersayang. Kecelakaan yang tidak perlu, jika saja perempuan muda itu mau mengurangi laju cepat mobil barunya dan lebih waspada. Ceroboh.

Keluarga si gadis menyatakan siap bertanggung jawab penuh. Didorong perasaan bersalah, mereka rajin menyantuni si sulung. setiap puasa,lebaran, ulang tahun, cek up ke dokter, hujan perhatian turun lebat; dari uang, baju, buku, makanan, bahkan membeli kaki palsu, saat waktunya tiba nanti... tapi sulung tidak mau. Ia marah, ia benci perempuan itu, perempuan ceroboh yang sudah mencabut paksa telapak kakinya. "Ngga bakalan deh dia mau pakai baju kalau tahu dikasih dari orang itu. sakit jiwanya (sakit hati)."

"Setiap hari, saat shalat saya juga nangis. tapi diem-diem, takut anak saya lihat, jadinya ntar dia ikutan sedih dah. kalau dipikir kenapa sih ya harus dia gitu? padahal kan dia masih muda ya. tapi ya udah lah, sekarang kan tinggal cari solusinya ya," kata iyuk sambil tetap tersenyum.

Yu Kosim selalu begitu. kalau ngobrol, mau sedih, seneng atau marah, raut mukanya selalu senyum, kata-katanya lugu dalam balutan dialek betawi-jawa.

malam kemarin kami bertemu lagi.

"gimana anaknya?"

"masih sama mba. nunggu lukanya kering." diam sesaat ia melanjutkan,
"saya lagi ngumpulin uang mba, buat beli kaki palsu."

"kan mahal yuk. memang ngga jadi dibeliin?"

"katanya sih begitu, masih belum jelas juga, tapi saya ngga mau tergantung. Lagipula kalau dia tau dari orang itu, pasti ngga bakalan dipake dah tuh kaki."

"Uangnya udah kekumpul yuk?"

"Yah, masih ngumpul dikit-dikit sih. Tapi saya paling ngga mau yang namanya ngemis. minta-minta belas kasihan orang gitu, saya ngga mau. Mau dikasih brapa juga sama orang, saya terima. Memang udah begitu rejekinya ya diterima. Saya percaya rejeki itu sudah diatur sama Allah, selama kita berusaha, pasti ada aja dah."

mantap kan?

Kalau dihitung dengan otak manusia mustahil keadaan itu bisa dicapainya. Brapa sih penghasilan buruh cuci dan tukang pijat? tapi semangatnya itu, keyakinannya pada
kuasa Tuhan dan optimisme dalam kerja kerasnya, bukan gerutu atau rutukan pada keadaan, patut diacungi jempol. tinggi-tinggi.

ah, kata siapa sih perempuan mahluk lemah?
salah itu...
perempuan itu kuat. :)

No comments: