Tuesday, May 20, 2008

eksistensi

Huhu, sedih juga ngga bisa lihat prosesi pemakaman bang ali (even dari tv). Gagal deh cita-cita menulis profil dan mewawancarai Ali Sadikin, sekali lagi. Sejak mewawancarainya 4 tahun lalu, saya langsung jatuh cinta dengan sosok satu ini. Sebelum bertemu langsung, saya memang sudah mendengar tentang ketegasannya, kelantangannya, kegarangannya, etc. Tapi saya betul-betul kagum saat bertemu langsung dengannya (sampe foto bareng segala.. hehe)


Selama wawancara, Bang Ali dibantu dengan hearing aid. Tapi toh itu tak mengurangi kegarangannya saat bicara tentang angka urbanisasi yang terus merangsek naik, keruwetan lalu lintas yang membuat pusing tujuh keliling, dan knalpot-knalpot bis kota yang begitu jahat. Berkobar semangatnya saat memuntahkan kritik pedas akan kebijakan pemda sampai muka saya pun ditunjuk-tunjuk, dahinya mengernyit, alisnya mengerut, dan suaranya tak kendur sekejap pun. Duh, saya sempet mengkeret waktu beliau melotot sambil tunjuk2 muka saya.

Ah, pasti saya bangga banget deh jadi penduduk Jakarta saat beliau sebagai walikota. Bayangkan, mulai dari impor bajaj dari India, pembangunan pasar dan pusat kegiatan seni, sampai lokalisasi prostitusi dan kupon judi SDSB, semua dapat porsi yang besar dalam pemikirannya. Saat mengunjungi pameran bulan film nasional di TIM beberapa waktu lalu, saya menemukan kutipan kata-kata Bang Ali yang diwawancarai oleh Majalah TEMPO. "Masa' saya harus mengerahkan hansip untuk memaksa orang-orang supaya mau nonton film indonesia di bioskop??" Begitu kira-kira tanggapannya saat ditanya tentang lesunya animo masyarakat pada perfilman nasional beberapa dekade lalu. Kalau memang filmnya jelek, mau diapain lagi ya bang ya... Begitu lugas, apa adanya.

Ah walikota yang keren. Keren luar dalam. Walikota Jakarta paling eksis. Selamat jalan bang Ali. Semoga Allah menerima semua amal baik dan jasamu, amin.