Monday, June 30, 2008

the real place to hang with

Akhirnya saya bisa total menikmati jalan-jalan di mal. Saya beri dua jempol deh untuk Pacific Place. Awalnya, saya punya prejudice miring tentang mall ini. Seorang teman berkata, "Mall ini hanya cocok untuk makan. Kegedean, udah gitu lebih banyak tempat makannya." Kerabat yang lainnya bilang, "Ah, makanannya terlalu mahal." Hm, saya kok jadi malas, sepertinya mal ini congkak sekali *halah congkak*. Saya jadi ngga penasaran untuk menengok ke sana. Ohya, satu lagi, mal ini dipilih oleh waralaba tempat bermain anak dari Mexico, Kidzania. wah, saya semakin tak tertarik untuk datang. Segmennya sangat pas untuk yang cuma mau makan2 atau orang-orang anak2nya bemain, pikir saya. shallow ya membuat dugaan tanpa bukti. hahaha.

Tapi emang dasar ketulah, kemarin saya malah mengajak seorang sahabat lama untuk catch up di sana. "Asik buat dijelajahi," tulis saya saat mengirim sms untuknya. nah.

Awal kunjungan saya ke PP adalah karena "kepaksa". Tante saya beride mengajak keponakan-keponakan kecilnya untuk bermain di Kidzania. Saya ditunjuk sebagai ketua rombongan para kurcaci. Nyatanya Kidzania itu benar2 menarik. Gambarannya, kalau Anda senang main pasar-pasaran, pura-pura menjadi sesuatu, nah di sana banyak tempat yang bisa membayar kesenangan itu. Pura-pura jadi pilot, pura-pura jadi wartawan, pura-pura jadi pemain teater.. Tapi pura-pura yang ini dibuat seserius dunia nyata. Misalnya kalau Anda ingin pura-pura (baca: belajar) jadi wartawan, di sana ada booth Media Indonesia dan Metro TV lengkap dengan piranti2 yang sama persis dengan yang ada di Press Room sesungguhnya. Wuih, sirik banget deh saya nggak boleh ikutan. Alasannya? Faktor U. Padahal kalau diukur fisik saya ngga kalah kok sama anak yang usianya baru 17 tahun. Ngga kalah pendek maksudnya...

Singkat cerita, itulah perkenalan saya dengan PP. Sayang, saya ngga sempat eksplor lebih jauh. 4 jam saya habiskan di dalam Kidzania. Saya hanya sempat melirik kiri kanan sebentar saat menggiring rombongan untuk makan siang di wendy's dan kemudian mengantar mereka pulang. hmm... dari screening kilat, saya putuskan harus kembali lagi kesini.

Dari range 10 sampai 100 saya beri range 85 untuknya. Tak banyak mal yang berbesar hati atau (cukup manusiawi?) untuk menyediakan fasilitas yang betul-betul baik. Mari kita mulai dari toilet. Lumayanlah, cukup bersih dan ada air. Desain interiornya sih ngga bagus-bagus amat, tapi yang penting bersih dan ada air dan ngga bau. Beberapa hotel dan mal menolak menggunakan air sebagai sarana bersih2 setelah pipis atau pup. Mau tiru2 luar negeri kali ya, tujuannya sih bagus biar lantai tidak kotor dan becek. But, it is Indonesia. Pengunjung mal tentu beragam dan nyatanya masih banyak orang yang tidak merasa nyaman jika beristinja' hanya dengan menggunakan tissue (lha wong kemarin saja ada anak yang memilih pipis ndhodok di lantai). Hasilnya? Toilet malah jadi tidak nyaman karena bau pesing. Solusinya memang mba-mba cleaning service harus stand by untuk selalu sigap ngepel! Kan...

Berikutnya adalah mushola. Ini yang sering bikin saya mengernyitkan dahi. Kadang, kita datang ke mal yang dingin, wangi, terang benderang, kinclong, tapi saat hendak sholat, keinginan itu bisa pupus di mulut pintu mushola (bahkan saat melihat arah papan penunjuk arahnya). Why? Mushola yang gelap, sempit, lembab, dan jauh dari bangunan mal (seperti di Mal Taman Anggrek, mushola mininya mojok di basement. Padahal mal ini guede banget!) cukup ampuh menahan niat orang yang ingin beribadah. Boleh lah dibilang saya melakukan pembenaran, tapi saya tidak munafik. Mengganggu. Belum lagi, alat sholat dan dekorasi yang seadanya (seperti di Gramedia Matraman yang katanya toko buku terbesar seAsia Tenggara); mukena yang kotor, sajadah yang letaknya morat marit (kadang warnanya juga sudah pudar), atau hiasan yang ditempel sembarangan. Tak ketinggalan tempat wudlu yang becek dan kadang nyampur antara laki dan perempuan dan krannya cuma 4 (seperti di PIM). Ck..ck..ck.. gimana ya otaknya para pengelola mal itu. Masa iya ngga bisa ngitung perbandingan volume pengunjung sama luas mushola..

Di PP, mushola dilengkapi fasilitas yang cukup layak. Selain tempat berwudlu yang terpisah dan kran yang cukup banyak, lay out ruang sholat pun ditata apik; seperti karpet yang bersih, pencahayaan yang cukup. Penggunaan rubber carpet di seluruh areal wudlu (yang juga menutup areal pembuangan air), menghindarkan mushola dari bau lembab, dan yang terpenting, mushola tidak becek. Mukena yang disewakan pun tidak sekadar bersih, tapi indah. Yang saya kenakan kemarin berrenda hitam dengan variasi benang emas lho. Nah, kalau sudah begini orang kan bisa ibadah dengan tenang. Saya doain deh semoga pengelolanya dapat pahala ya! hehe... Kapasitas juga sudah diperhitungkan dengan luasnya area sholat.

Saking service-nya, yang bikin saya kagum sekaligus geli adalah si petugas penjaga rak dan loker mukena (yang pakai sarung tangan putih kayak pembawa bendera merah putih) selalu mengucapkan salam dengan ramah sambil mendekapkan tangan di dada, setiap kami datang dan pergi dari mushola itu. Hehehe...

Terakhir adalah tempat parkir. Saat kaki sudah payah karena kelamaan jalan dan cari tempat parkir, dalam waktu lima menit saya bisa mencapai loket pembayaran parkir dan jalan raya. Tanpa perlu putar-putar, layaknya ikut wahana permainan di dufan. Hehe, istilah ini lahir dari pengalaman-pengalaman saya saat parkir di mal-mal terkemuka di Jakarta. Lutut sampai pegal karena harus muter2 di menara menuruni tempat parkiran. Tapi kali ini, mungkin juga dibantu faktor keberuntungan ya, saya senang karena ngga perlu berlama-lama hanya untuk cari jalan keluar dari ruang bawah tanah.

So, untuk tempat hang out sejujurnya mal ini tidak beda jauh dengan mal lain yang menawarkan tenant branded yang dibungkus atmosfer elegant, sejuk, classy, dan comfort. Cuma satu poin yang membuat mal ini "naik kelas" : manusiawi. Semoga ngga cuma karena mereka baru launching yaa.. ;)