Thursday, May 7, 2009

iced war

Saya hendak bersiap mandi ketika mendengar sebuah percakapan menarik antara Farhan dan Kassandra Putranto (seorang psikolog keluarga) dalam talkshow radio. tema topik pagi itu adalah Perang Dingin, dan, kunci sebuah manajemen konflik saat "lawannya" adalah pasangan hidup. wuih.. beurat nih..


hm, yah itung-itung sangu lah ya buat nanti.. he he..


Nah, inilah dia rangkuman talkshow yang berhasil menggamit saya untuk duduk manis di atas kasur sampai akhirnya telat berangkat ke kantor :D


Dalam berhubungan dengan siapa pun, akan ada masa-masa yang tidak bisa kita hindarkan, salah satunya saat kita berseberangan, berbeda pendapat yang bermuara pada munculnya konflik. Sayangnya mengapa kita sering dipusingkan dengan perbedaan? Menemukannya, meruncingkan, lantas melupakan pada titik mana kita berada pada sebuah kebersamaan, harmoni yang membuat kita saling hormat dan sayang. Pada akhirnya kita lebih fokus membahas perbedaan tersebut, alih alih mencari solusi dari permasalahan yang dihadapi.


Sebuah konflik bisa jg berawal dari aksi labelling. Sebetulnya kita bisa memilih u tidak melakukan labelling-labelling yang akhirnya membuat kita tersakiti. Kadang seseorang memaksakan standarnya pada pasangan dan ketika itu tidak terpenuhi, orang tersebut akan tersakiti. Misalnya, setiap ulang tahun seseorang berharap pasangannya akan memberinya bunga dan hadiah. Karena itu sudah menjadi ukuran wajib sebuah perhatian dan kasih sayang pasangannya. Ketika sang pasangan pulang dengan membawa hadiah tanpa bunga, ia sakit hati, kecewa dan melabelinya dengan kata "kamu ngga sayang ya sama aku". Padahal kalau kita mau melihat lebih luas, sesungguhnya ukuran menyayangi kan tidak selebar label itu, pun kalau istrinya mau melihat dari sisi suaminya, atau sebaliknya, mungkin punya standar dan budaya (baca: nilai) yang ia bawa sejak kecil.


Hm, yen tak pikir-pikir benar juga ya, seringkali kita menemukan kekecewaan2 muncul akibat sistem standar dan label yang kita bakukan sendiri. Kuncinya adalah komunikasi dan keduanya saling mengerti satu sama lain dan tidak egois, menumbuhsuburkan ego masing-masing.


nah, ini nih yang butuh keahlian tingkat cihuy (saya ngga mau ah bilang tingkat tinggi, semua dimensi dalam sebuah relationship kan ada seninya masing2. hehe...) Sebaiknya kita memahami mekanisme pasangan saat menghadapi dan menyelesaikan masalah. ada yang right here right now, ada yang mundur sejenak dari masalah, atau ada yang lari dari masalah. Jadi, setelah kita memahami mekanisme satu sama lain, belajarlah untuk tidak memaksakan mekanisme kita padanya. kalau istilah teman saya, seperti main layang-layang, kita sama-sama memiliki keinginan dan harapan, maka harus pandai mengerti kapan menarik kapan mengulur.


Saat merasa kesal dan menjadi emosional, segera salurkan energi pada hal-hal yang membuat Anda produktif karena emosi itu bisa menjadi bensin dari segala perilaku. Saat emosional, baik itu marah, sedih, bahkan senang, orang bisa melakukan apapun. Wah, lucu juga nih, bisa beberes rumah mulai dari lap-lap, kebut-kebut, sapu-sapu sampai ngepel. mungkin kl emosinya advanced level bisa nyikati genteng. he.. he.. hm, satu paket pekerjaan upik abu bisa beres dalam sekejap mata nih.

ohya, berpikir dan bersikap positif juga bisa menghindarkan kita dari kebiasaan psikosomatis. asli, saya ngakak waktu mendengar kata ini. Awalnya saya mengernyit, tak paham. tapi saat mencerna lagi saya tergelak. psiko + somatis.. fitrahnya, perasaan perempuan memang lebih lembut dan halus dibanding pria. Namun pada kadar dan kondisi tertentu, akhirnya kehalusan itu bisa mendatangkan "kesakitan". Akhirnya, yang bersangkutan akan diribetkan dengan sakit kepala dan sakit perut yang bermula dari pikiran yang tidak menyenangkan.

Nah, serunya, dari sinilah kita akan belajar seni baru, yaitu bersabar dan ikhlas.. humm, tapi bab yang ini sih tidak dibahas di talkshow ibu Kassandra tadi.. ini hanya kesimpulan subjektif saya.

Wallahualam...

Smoga tak pernah merasa cukup untuk belajar...

No comments: